Tampilkan postingan dengan label Rumput Luat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumput Luat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 November 2013

Budidaya Rumput Laut

Petani rumput Laut Di Desa Kutuh
Rumput Laut,- merupakan salah satu komoditas unggulan program industrialisasi perikanan budidaya. Pada tanggal 29 Desember 2012, bertempat di Pantai Pandawa, Desa Kutuh, Kec. Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Propinsi Bali, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sharif C. Sutardjo, didampingi oleh Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (Dirjen PB) Slamet Soebjakto melakukan dialog dengan pembudidaya rumput laut.

Selain dialog dengan pembudidaya rumput laut, MKP juga menyaksikan penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) dengan pembudidaya rumput laut Desa Kutuh yang menyangkut pemasaran hasil budidaya rumput laut. MKP dam Dirjen PB juga melakukan panen rumput laut di tepi pantai Pandawa.

Pada sambutannya, MKP menyatakan bahwa rumput laut ini memiliki potensi yang begitu besar untuk terus dikembangkan sehingga perlu mengembangkan usaha budidaya rumput laut secara terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir.

MKP juga menjelaskan, bahwa Industrialisasi rumput laut dilaksanakan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi budidaya rumput laut yang sekaligus bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan, meningkatkan pendapatan pembudidaya, menyediakan lapangan kerja serta merevitalisasi usaha budidaya rumput laut baik skala mikro, kecil maupun menengah secara berkelanjutan.

Lebih lanjut MKP menegaskan, pengembangan usaha budidaya rumput laut yang merujuk pada pilar-pilar pengembangan blue economy berperan penting dalam melipatgandakan pendapatan dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan tidak merusak lingkungan.

Blue Economy merupakan model ekonomi baru untuk mendorong pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan kerangka pikir seperti cara kerja ekosistem. Cara pandang ekonomi tersebut merupakan suatu model bisnis yang mampu meningkatkan nilai tambah dari komoditas rumput laut. Langkah ini ditempuh untuk meningkatkan penerimaan negara dan masyarakat sekitar lokasi budidaya rumput laut melalui upaya peningkatan nilai tambah komoditi rumput laut.

Pada kesempatan yang sama, MKP juga meresmikan Pantai Pandawa sebagai tujuan wisata bahari baru. Sebelum sampai  di pantai pandawa, mata pengunjung akan dimanjakan dengan deretan patung-patung Pandawa Lima, yang berdiri gagah dipinggiran tebing. MKP mengharapkan agar pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah desa Kutuh, mampu melakukan  tata ruang di Pantai Pandawa sebaik mungkin, sehingga  tidak terjadi tumpang tindih antara kepentingan wisata dan budidaya rumput laut. Dengan kata lain, wisata di pantai Pandawa harus berkembang, tanpa menggusur eksistensi pembudidaya rumput laut disana



Sumber : http://www.djpb.kkp.go.id/

Rumput Laut Desa Kutuh

Petani Rumput Laut Bali
Pandawa Beach,- Asosiasi Rumput laut Indonesia (ARLI) bersama Kelompok Tani Rumput Laut Bali mengembangkan pemasaran rumput laut yang lebih luas dalam jumlah yang lebih besar dengan kualitas standard dan memanfaatkan kemampuan serta networking ARLI. Diharapkan hal ini dapat meningkatkan kualitas dan potensi pada masa-masa mendatang.

Ketua Umum ARLI Safari Azis, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu, 2 Januari 2013, mengungkapkan, kerja sama pemasaran termasuk pengembangan dan pembinaan ini sebagai bagian dan upaya untuk menjadikan rumput laut sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Kutuh, Kabupaten Badung.

“Diharapkan rumput laut Kutuh yang memiliki potensi dan kualitas sangat baik bisa terus ditingkatkan di masa yang akan datang”, ujar Safari.
Pengembangan dan pemanfaatan rumput laut yang memberikan banyak manfaat, mulai dari penciptaan lapangan kerja untuk masyarakat yang tinggal di daerah pantai, merupakan bahan baku dari berbagai indutri pangan, farmasi, kesehatan, kosmetik, pupuk cair dan berbagai prospek lainnya menjadikan rumput laut sebagai salah satu komoditi ”Blue Ekonomi” di Indonesia.

“Terlebih lagi bahwa Indonesia dipercaya sebagai penyelenggara ISS (International Seaweed Symposium) ke 21, seharusnya semakin menambah semangat kita (Indonesia) sebagai salah satu produsen rumput laut Euchemacottonii terbesar dunia untuk tetap mengembangkan dan melestarikan apa yang ada di Desa KUTUH, Kuta Selatan ini”, tambah Safari.

Sebagai salah satu komoditi dalam mendukung visi ”Blue Economy” maka walaupun komoditi ini berada ditengah gencarnya aktivitas pariwisata di pulau Dewata ini, akan tetapi komoditi rumput laut yang mulai dikembangkan sekitar 30 tahun lalu menjadi salah satu penopang hidup masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan pulau pulau tidak mesti kalah atau tergusur karena sesungguhnya dapat dilakukan sebuah sinergi antara komoditi rumput laut untuk mendukung sektor pariwisata.

Tentunya sinergi ini dapat dilakukan dan bisa dibangun dengan dimulainya sebuah gagasan Minawisata atau Fishery Ecotourism yang menjadikan aktivitas budidaya rumput laut sebagai kegiatan wisata. Proses kehidupan masyarakat pembudidaya rumput laut dalam kesehariannya menjadi kekayaan wisata yang unik dan ditata sedemikian rupa sehingga tidak dianggap sebagai bidang yang bertentangan atau saling mengeliminasi tetapi menjadi sebuah kesatuan utuh yang saling menguntungkan.

“Disinilah kita mengharapkan peran besar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk menggandeng bidang usaha ini sebagai salah satu kekhasan lokal Desa Kutuh yang harus dipertahankan dan dilestarikan untuk diolah sedemikian rupa menjadi bagian terintegrasi dari kegiatan pariwisata

Petani Rumput Laut Di Pantai Pandawa Kutuh

Sejarah Desa Kutuh
Petani Rumput Laut Pantai Pandawa
Diceritrakan pada tahun 1682 Kerajaan Badung dipimpin oleh Raja Badung yaitu Ida Cokorda III yang bergelar Kyai Anglurah Pemecutan III, dan pada suatu hari beliau melakukan perjalanan memasuki hutan belantara yang sangat keramat, indah dan nyaman dihati beliau yang berada diwilayah Kaki Pulau Bali bagian selatan.

Didalam hutan tersebut tidak dinyana Beliau bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik rupawan bagaikan seorang bidadari, yang bernama Ni Rangdu Kuning yang menghuni hutan keramat tersebut yang menggoda hati setiap laki-laki yang menjumpainya.
Sebagai seorang lelaki yang sempurna beliaupun jatuh cinta sama Ni Rangdu Kuning yang akhirnya dikawininya. Dari hasil perkawinannya dengan Ni Rangdu Kuning lahirlah seorang Putra yang diberi nama I Gusti Ngurah Ungasan.

Pada suatu saat Ni Rangdu Kuning ditinggal oleh Sang Raja ke Puri Pemecutan dan tidak pernah kembali lagi, maka Ni Rangdu Kuning tinggal sendirian bersama putranya. Karena lama Sang Raja tidak kembali maka Ni Rangdu Kuning mulai melakukan perjalanan ke arah timur dan sampailah disuatu tempat yang tidak diketahui namanya dan daerah tersebut banyak ditumbuhi oleh Pohon Kayu Kutuh yang besar – besar, dan sebagai bukti sampai sekarang ada dua pohon Kayu Kutuh yang sangat besar. Karena daerah yang dijumpai tersebut banyak ditumbuhi pohon Kayu Kutuh yang menjadi tempat tinggal Ni Rangdu Kuning, maka tempat tersebut diberi nama Kutuh oleh beliau, dan seterusnya oleh masyarakat  setempat dijadikan nama Desa yaitu Desa Kutuh ( Desa Adat Kutuh ).

Pada Jaman Penjajahan Belanda di Indonesia, maka Desa Kutuh dijadikan Perbekelan Desa Kutuh yang dipimpin oleh seorang Perbekel. Pada masa kekalahan Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia juga membawa dampak kepada Perbekelan Desa Kutuh menjadi satu pemerintahan dengan Desa Ungasan yang berpusat di Desa Ungasan. Bergabungnya Perbekelan Desa Kutuh dengan Perbekelan Desa Ungasan yaitu pada Tahun 1941 sampai Tahun 2002.

Atas segala perjuangan masyarakat khususnya para Prajuru Desa, maka pada tanggal 25 Juni Tahun 1999 disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Badung menjadi Desa Persiapan Kutuh, dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor : 273 Tahun 1999. Dengan Luas Desa Kutuh 976,800Ha ( 0,976 KM2 ) dan Jumlah Penduduk Tahun 2010 berjumlah 3.630 jiwa, sehingga kepadatan penduduk rata-rata :  269 jiwa/km, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata : 0,30 %.
Pantai Pandawa merupakan salah satu daya tarik dari Desa ini, pantai yang dahulunya lebih terkenal dengan sebutan Secret beach. Sebutan Secret beach ini timbul karena memang lokasinya yang sangat terpencil, sehingga tidak banyak terexpose dan para wisatawan mancanegara mendapatkan kebabasan penuh dalam bersantai. Pantai Pandawa memiliki panorama yang indah, struktur batu karang yang juga menghiasi beberapa sisi pantai ini dengan pasir yang berwarna kuning. Perjalanan menuju pantai ini sendiri sangat menarik, selain karena belum ramainya lalu lintas kendaraan, kita juga akan menikmati bentangan tembok alam yang tinggi, tembok ini merupakan struktur batu kapur yang menjulang dan memang mendominasi daerah tersebut.

Pantai ini juga menawarkan interaksi sosial yang kental, ini disebabkan karena di pantai ini juga terdapat Budidaya Rumput Laut yang di kelola warga setempat. Sehingga sebagaian waktu setiap harinya semua aktivitas berpusat disana. Para petani seperti juga didaerah lain memang didominasi oleh para orang tua dan anak-anak yang membantu atau sekedar bermain disana.
Budidaya rumput laut ini membuat pantai penuh warna-warni. Terutama akan tampak ketika pantai surut di saat siang, atau ketika pagi hari saat rumput laut basak mulai di jemur dan diterpa matahari pagi. Ini memberikan kesan yang menarik walau tentunya sering terabaikan.

Budidaya rumput laut merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat Desa ini, mereka membentuk kelompok dengan anggota kurang lebih 100 orang. Ini adalah pertanian turun temurun, struktur pantai yang berbatu karang sehingga pada saat surut memungkinkan masih tertinggalnya genangan air laut, dan sehingga para petani bisa membudidayakan rumput laut. Dari mulai penanaman sampai pada proses panan, rumput laut memerlukan waktu 45 hari, dan panen serta penanaman dilakukan pada saat air laut sedang surut.

Hasil panen dikumpulkan dan dijual bahkan sampai keluar bali,  rumput laut dipasarkan dalam kondisi kering, dengan kisaran harga 9 ribu samapi 10 ribu rupiah per kilogramnya. Untuk pengeringan ini sendiri dilakukan secara tradisional, dan  bisa memerlukan waktu 3 hari, ini sangat tergantung dengan panas matahari dan angin laut. Untuk proses-proses tersebut, para warga membangun gubuk darurat disepanjang pantai. Gubuk-gubuk ini selain untuk penyimpanan rumput laut pada saat datang hujan, juga berfungsi sebagai tempat istirahat di kala siang, sambil sebul air laut surut.

Selain budidaya rumput laut ada beberapa warga juga perprofesi sebagai nelayan. Dan ternak sapi untuk sambilan, seperti juga terdapat di desa-desa agraris lain di Bali.
Untuk mendukung Potensi yang terdapat di Desa kutuh, penataan Desa pun mulai dilakukan. Salah satu yang dilakukan adalah dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya menuju pantai serta pembangunan arca di di dinding dinding tebing kapur, beberapa ratus meter sebelum masuk pantai.
Tentunya pembangunan ini akan membawa dampak bagi perkembangan investasi pariwisata disekitar pantai Pandawa. Sayangnya di satu sisi pembangunan pariwisata yang membabi buta bisa membahayakan kelangsungan mata pencaharian warga desa.

Seperti kita ketahui, sering terjadi pertentangan antara investor dan warga, ini terutama menyangkut perbedaan orientasi. Investor yang selalu berorientasi  pada keuntungan, sering mengabaikan kepentingan jangka panjang dari warga desa, terutama menyangkut mata pencaharian dan atau kegiatan tradisional. Terutama investor yang mengklaim pantai sebagai bagian dari wilayahnya sehingga merasa berhak memprivatisasi pantai hanya untuk konsumsi wisatawan. dan pada akhirnya akan mengorbankan mata pencaharian tradisional seperti Budidaya Rumput laut atau Nelayan.
Hal ini yang harus di hindari karena, selain merupakan sebuah keunikan, aktividas budidaya Rumput laut sendiri tentunya bisa dimanfaatka sebagai salah satu object untuk untuk daya tarik pantai Pandawa. Untuk itu, peran Desa Administratif dan Desa Adat sangat di nantikan, sehingga pembangunan pariwisata tidak membunuh mata pencaharian lokal, terutama Budidaya rumput laun yang tadak disetiap pantai dibali bisa kita temui.

Selain itu dengan adanya budidaya ini tanpa disadari merupakan salah satu perangsang bagi kesadaran warga untuk menjaga pantai, karna bagai manapun di pantai itu waktu mereka habiskan, dengan kerja dan interaksi sosial, dan terjadi hubungan ketergantungan antara manusia dan alam masih sangat kental.
Jadi silahkan kunjungi, nikmati, dan belajarlah di pantai pandawa. Banyak warna alam, hingga kita kan merasakan, warna lain dari Bali. Nikmati pantainya, kesegaran air lautnya, kemilau warna rumput laut, dan interaksi sosial warganya.

Petani Rumput Laut Di Pantai Pandawa Kutuh

Petani Rumput Laut Pantai Pandawa
Pandawa Beach,- Sejara Desa Kutuh Diceritrakan pada tahun 1682 Kerajaan Badung dipimpin oleh Raja Badung yaitu Ida Cokorda III yang bergelar Kyai Anglurah Pemecutan III, dan pada suatu hari beliau melakukan perjalanan memasuki hutan belantara yang sangat keramat, indah dan nyaman dihati beliau yang berada diwilayah Kaki Pulau Bali bagian selatan. Didalam hutan tersebut tidak dinyana Beliau bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik rupawan bagaikan seorang bidadari, yang bernama Ni Rangdu Kuning yang menghuni hutan keramat tersebut yang menggoda hati setiap laki-laki yang menjumpainya.
Sebagai seorang lelaki yang sempurna beliaupun jatuh cinta sama Ni Rangdu Kuning yang akhirnya dikawininya. Dari hasil perkawinannya dengan Ni Rangdu Kuning lahirlah seorang Putra yang diberi nama I Gusti Ngurah Ungasan.
Pada suatu saat Ni Rangdu Kuning ditinggal oleh Sang Raja ke Puri Pemecutan dan tidak pernah kembali lagi, maka Ni Rangdu Kuning tinggal sendirian bersama putranya. Karena lama Sang Raja tidak kembali maka Ni Rangdu Kuning mulai melakukan perjalanan ke arah timur dan sampailah disuatu tempat yang tidak diketahui namanya dan daerah tersebut banyak ditumbuhi oleh Pohon Kayu Kutuh yang besar – besar, dan sebagai bukti sampai sekarang ada dua pohon Kayu Kutuh yang sangat besar. Karena daerah yang dijumpai tersebut banyak ditumbuhi pohon Kayu Kutuh yang menjadi tempat tinggal Ni Rangdu Kuning, maka tempat tersebut diberi nama Kutuh oleh beliau, dan seterusnya oleh masyarakat  setempat dijadikan nama Desa yaitu Desa Kutuh ( Desa Adat Kutuh ).
Pada Jaman Penjajahan Belanda di Indonesia, maka Desa Kutuh dijadikan Perbekelan Desa Kutuh yang dipimpin oleh seorang Perbekel.
Pada masa kekalahan Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia juga membawa dampak kepada Perbekelan Desa Kutuh menjadi satu pemerintahan dengan Desa Ungasan yang berpusat di Desa Ungasan. Bergabungnya Perbekelan Desa Kutuh dengan Perbekelan Desa Ungasan yaitu pada Tahun 1941 sampai Tahun 2002.
Atas segala perjuangan masyarakat khususnya para Prajuru Desa, maka pada tanggal 25 Juni Tahun 1999 disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Badung menjadi Desa Persiapan Kutuh, dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor : 273 Tahun 1999. Dengan Luas Desa Kutuh 976,800Ha ( 0,976 KM2 ) dan Jumlah Penduduk Tahun 2010 berjumlah 3.630 jiwa, sehingga kepadatan penduduk rata-rata :  269 jiwa/km, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata : 0,30 %.
Pantai Pandawa merupakan salah satu daya tarik dari Desa ini, pantai yang dahulunya lebih terkenal dengan sebutan Secret beach. Sebutan Secret beach ini timbul karena memang lokasinya yang sangat terpencil, sehingga tidak banyak terexpose dan para wisatawan mancanegara mendapatkan kebabasan penuh dalam bersantai. Pantai Pandawa memiliki panorama yang indah, struktur batu karang yang juga menghiasi beberapa sisi pantai ini dengan pasir yang berwarna kuning. Perjalanan menuju pantai ini sendiri sangat menarik, selain karena belum ramainya lalu lintas kendaraan, kita juga akan menikmati bentangan tembok alam yang tinggi, tembok ini merupakan struktur batu kapur yang menjulang dan memang mendominasi daerah tersebut.
Pantai ini juga menawarkan interaksi sosial yang kental, ini disebabkan karena di pantai ini juga terdapat Budidaya Rumput Laut yang di kelola warga setempat. Sehingga sebagaian waktu setiap harinya semua aktivitas berpusat disana. Para petani seperti juga didaerah lain memang didominasi oleh para orang tua dan anak-anak yang membantu atau sekedar bermain disana.
Budidaya rumput laut ini membuat pantai penuh warna-warni. Terutama akan tampak ketika pantai surut di saat siang, atau ketika pagi hari saat rumput laut basak mulai di jemur dan diterpa matahari pagi. Ini memberikan kesan yang menarik walau tentunya sering terabaikan.
Budidaya rumput laut merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat Desa ini, mereka membentuk kelompok dengan anggota kurang lebih 100 orang. Ini adalah pertanian turun temurun, struktur pantai yang berbatu karang sehingga pada saat surut memungkinkan masih tertinggalnya genangan air laut, dan sehingga para petani bisa membudidayakan rumput laut. Dari mulai penanaman sampai pada proses panan, rumput laut memerlukan waktu 45 hari, dan panen serta penanaman dilakukan pada saat air laut sedang surut.
Hasil panen dikumpulkan dan dijual bahkan sampai keluar bali,  rumput laut dipasarkan dalam kondisi kering, dengan kisaran harga 9 ribu samapi 10 ribu rupiah per kilogramnya. Untuk pengeringan ini sendiri dilakukan secara tradisional, dan  bisa memerlukan waktu 3 hari, ini sangat tergantung dengan panas matahari dan angin laut. Untuk proses-proses tersebut, para warga membangun gubuk darurat disepanjang pantai. Gubuk-gubuk ini selain untuk penyimpanan rumput laut pada saat datang hujan, juga berfungsi sebagai tempat istirahat di kala siang, sambil sebul air laut surut.
Selain budidaya rumput laut ada beberapa warga juga perprofesi sebagai nelayan. Dan ternak sapi untuk sambilan, seperti juga terdapat di desa-desa agraris lain di Bali.
Untuk mendukung Potensi yang terdapat di Desa kutuh, penataan Desa pun mulai dilakukan. Salah satu yang dilakukan adalah dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya menuju pantai serta pembangunan arca di di dinding dinding tebing kapur, beberapa ratus meter sebelum masuk pantai.
Tentunya pembangunan ini akan membawa dampak bagi perkembangan investasi pariwisata disekitar pantai Pandawa. Sayangnya di satu sisi pembangunan pariwisata yang membabi buta bisa membahayakan kelangsungan mata pencaharian warga desa.
Seperti kita ketahui, sering terjadi pertentangan antara investor dan warga, ini terutama menyangkut perbedaan orientasi. Investor yang selalu berorientasi  pada keuntungan, sering mengabaikan kepentingan jangka panjang dari warga desa, terutama menyangkut mata pencaharian dan atau kegiatan tradisional. Terutama investor yang mengklaim pantai sebagai bagian dari wilayahnya sehingga merasa berhak memprivatisasi pantai hanya untuk konsumsi wisatawan. dan pada akhirnya akan mengorbankan mata pencaharian tradisional seperti Budidaya Rumput laut atau Nelayan.
Hal ini yang harus di hindari karena, selain merupakan sebuah keunikan, aktividas budidaya Rumput laut sendiri tentunya bisa dimanfaatka sebagai salah satu object untuk untuk daya tarik pantai Pandawa. Untuk itu, peran Desa Administratif dan Desa Adat sangat di nantikan, sehingga pembangunan pariwisata tidak membunuh mata pencaharian lokal, terutama Budidaya rumput laun yang tadak disetiap pantai dibali bisa kita temui.
Selain itu dengan adanya budidaya ini tanpa disadari merupakan salah satu perangsang bagi kesadaran warga untuk menjaga pantai, karna bagai manapun di pantai itu waktu mereka habiskan, dengan kerja dan interaksi sosial, dan terjadi hubungan ketergantungan antara manusia dan alam masih sangat kental.
Jadi silahkan kunjungi, nikmati, dan belajarlah di pantai pandawa. Banyak warna alam, hingga kita kan merasakan, warna lain dari Bali. Nikmati pantainya, kesegaran air lautnya, kemilau warna rumput laut, dan interaksi sosial warganya.


Sumber: http://desakutuh-badung.net/